Kenapa Orang Tua Tidak Boleh Melabel Emosi Anak? - Adaptive Parenting & Counseling

Kenapa Orang Tua Tidak Boleh Melabel Emosi Anak?

Umumnya ketika melihat anak sedang menangis, seseorang dengan spontan akan bertanya, “Kenapa kamu sedih?”

Ketika melihat anak cemberut, seseorang juga dengan spontan bertanya misalnya, “Kamu kok marah sih?”

Ya, tanpa disadari, orang tersebut do damage to the kid.

Ya, orang tersebut melabel emosi yang sedang dirasakan anak tersebut, dan merenggut kemampuan sang anak untuk mengenali emosi dan perasaannya.

Lalu memang kenapa? Kenapa gak boleh?

Pertanyaan yang bagus.

Ketika seseorang tanpa disadari melabel emosi anak lewat pertanyaannya, maksud orang tersebut baik, yaitu memberikan perhatian ke anak tersebut.

Dan apa bahayanya ketika orang tua sering melabel emosi anaknya?

Seperti sudah saya tulis sebelumnya, orang tua bisa merenggut kemampuan anak untuk bisa mengenali emosi dan perasaannya.

Lalu memang kenapa kalau anak tidak bisa mengenali emosi atau perasaannya?

Anak tersebut bisa berpotensi mengalami gangguan jiwa yang dinamakan alexithymia. Intinya anak tersebut bisa kesulitan mengenali emosi dan perasaannya, dan juga sensasi tubuhnya yang disebabkan emosi tersebut. Anak tersebut juga kesulitan untuk mendeskripsikan emosi dan perasaannya ke orang lain.

Jadi apa sebaiknya yang Anda lakukan agar tidak terjebak untuk melabel emosi anak?

Tentu maksud Anda sudah baik dengan memberikan perhatian ke anak Anda.

Yang belum tepat adalah cara bertanyanya. Dan juga momen bertanyanya.

Kita rubah pertanyaannya menjadi, “Apa yang sedang kamu rasakan nak?”

“Seperti apa rasanya?”

“Di mana rasanya?”

Jadi kita tidak lagi melabel emosi anak kita. Melainkan kita justru mengajarinya untuk mengenali emosinya.

Ingat juga momen bertanyanya. Kalau emosi anak masih intens, biarkan dulu dia menyalurkan emosinya dengan sehat dan baik. Sesudah emosinya lebih tenang, baru kita tanya.

Misalnya sewaktu salah satu putri kembar saya nangis. Saya stay di situ bersama dia. Saya biarkan dia nangis. Nangis justru bagus karena emosinya terilis keluar. Saya berikan tissue.

Dan saya tidak peluk dia. Kenapa? Karena memeluk anak sewaktu emosinya intens malah akan membuatnya disempower. Penjelasannya akan saya share di lain waktu.

Kembali ke anak saya yang sedang nangis dan saya beri tissue, saya hadir di dekat anak saya. Dan tidak bertanya. Hanya being presence sehingga dia tidak merasa ditolak atau ditinggalkan.

Setelah nangisnya reda dan mulai tenang, baru saya tanya, “Tadi waktu nangis rasanya gimana?”

Kalau dia jawab ok. Kalau dia gak jawab juga ok. Yang penting tidak dipaksa menjawab. Kita lihat sikonnya.

Jawabannya juga bebas dan tidak perlu kita koreksi karena emosi memang subyektif ke setiap orang.

Intinya di sini adalah kita memfasilitasi anak kita untuk belajar mengenali emosinya dan mendeskripsikannya ke orang lain. Dan ini salah satu caranya.

Masih ada cara-cara lainnya sesuai keunikan anak Anda. Apa saja? Bagaimana caranya?

Please invite me untuk tahu cara-cara yang sesuai dengan keunikan anak Anda melalui sesi parenting advising.

Aldian Prakoso

Click Here to Leave a Comment Below